Kultum Ramadhan: Tanda-Tanda Lailatul Qadar
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن، أَمَّا بَعْدُ
Tanda-tanda Lailatul Qadr telah dijelaskan oleh Rasulullah dalam beberapa riwayat berikut :
Sebagaimana dikatakan oleh Ubay bin Ka’b radhiallahu anhu:
بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِي أَخْبَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا
“Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu (matahari) terbit (pada pagi harinya) tanpa sinar (yang terik).”
Juga sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ: لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ, تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيْحَتُهَا صَفِيْقَةً حَمْرَاءَ.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang (tanda-tanda) Lailatul Qadr: “Malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin, matahari terbit (di pagi harinya) dengan cahaya kemerah-merahan (tidak terik)”[HR. Ath-Thayalisi].
Juga hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu, ia berkata:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنِّيْ كُنْتُ أُرِيْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, ثُمَّ نُسِّيْتُهِا, وَهِيَ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا, وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya aku pernah diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadr. Kemudian aku dibuat lupa, dan malam itu pada sepuluh malam terakhir. Malam itu malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin.” [HR. Ibnu Khuzaimah].
Demikian pula hadits Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِيْ الْعَشْرِ الْبَوَاقِيْ, مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ, وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ, تِسْعٌ أَوْ سَبْعٌ أَوْ خَامِسَةٌ أَوْ ثَالِثَةٌ أَوْ آخِرُ لَيْلَةٍ, وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ َ: إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَراً سَاطِعاً سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ, لاَ بَرْدَ فِيْهَا وَلاَ حَرَّ, وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيْهَا حَتَّى تُصْبِحَ, وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً, لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ, وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lailatul Qadr (terjadi) pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa yang menghidupkan malam-malam itu karena berharap keutamaannya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang. Dan malam itu adalah pada malam ganjil, ke dua puluh sembilan, dua puluh tujuh, dua puluh lima, dua puluh tiga atau malam terakhir di bulan Ramadhan,” dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang, seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas. Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. Dan sesungguhnya, tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu.” [HR. Ahmad].
Bapak-bapak, ibu-ibu jamaah sekalian,
Adapun keutamaan Lailatul Qadr, maka cukuplah bagi kita firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah diterangkan di atas.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
(Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril – Al Qadr/97: 3, 4-).
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan.
Pertama: Melakukan I’tikaf.
Sebagaimana hadits Aisyah radhiallahu anhuma, ia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
Sesungguhnya Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelahnya [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Hadits yang semisal dengannya ialah, hadits Abdullah bin Umar.
Hadits lain dari Aisyah radhiallahu anhuma, ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِيْ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir, yang kesungguhannya tidak seperti pada waktu-waktu lainnya.” [HR. Muslim]
Ada juga hadits lainnya dari Aisyah radhiallahu anhuma, ia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila memasuki sepuluh malam terakhir, (beliau) mengikat sarungnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan istri-istrinya (untuk shalat malam).” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Ibnu Katsir berkata: “Makna perkataan Aisyah “ شَدَّ مِئْزَرَهُ “, ialah menjauhi istri (tidak menggaulinya), dan ada kemungkinan bermakna kedua-duanya (mengikat sarungnya dan tidak menggauli istri).”
Kedua: Memperbanyak Doa.
Ibnu Katsir berkata: “Dan sangat dianjurkan (disunnahkan) memperbanyak doa pada setiap waktu, terlebih lagi di bulan Ramadhan, dan terutama pada sepuluh malam terakhir, di malam-malam ganjilnya.”
Doa yang dianjurkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah:
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ
Sesuai dengan hadits Aisyah radhiallahu anhuma berikut ini:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ, مَا أَدْعُوْ؟ قَالَ: تَقُوْلِيْنَ: اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ, تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
“Aku (Aisyah) bertanya: “Wahai, Rasulullah. Seandainya aku bertepatan dengan malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Katakan: Ya, Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf. Maka, maafkan aku.” [HR. Ibnu Majah]
Ketiga: Menghidupkan Malam Lailatul Qadr Dengan Melakukan Shalat Atau Ibadah Lainnya.
Sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau berkata:
عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ, وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan (dari Allah), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Mudah-mudahan di sepuluh malam terakhir ini kita mendapatkan keutmaaan yang ada pada lailatul qadar. Amin ya Rabbal ‘alamin.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Diadaptasi dari tulisan Ustadz Arief Budiman di majalah As-Sunnah Edisi Edisi 07-08/Tahun IX/1426/2005M
Artikel asli: https://khotbahjumat.com/5112-kultum-ramadhan-tanda-tanda-lailatul-qadar.html